Home » » Selayang Pandang MA

Selayang Pandang MA

Memoriam KH. Mas Abdurrahman

Oleh:
Muhammad Hakiki & Aceng Abdul Qadir
Peneliti LP3M Universitas Mathla'ul Anwar.



Bagi sebagian orang khususnya masyarakat Banten, nama KH. Mas Abdurrahman mungkin tak begitu dikenal terkecuali bagi mereka yang aktif berkecimpung di sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yakni Mathla'ul Anwar (MA). Akan tetapi, siapa yang menyangka jika kita menelusuri sejarah berdirinya MA, maka sosok KH Mas Abdurrahman bisa disandingkan dengan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdhatul 'Ulama (NU), KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, atau Ahmad Hasan pendiri Persis.

Sosok ulama kharismatik yang mempunyai nama lengkap KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Djamal Al-Djanakawi adalah merupakan produk ulama domestik kelahiran Kampung Janaka, Kecamatan Jiput Kabupaten Pandeglang. Jika kita lihat dari segi geografisnya, tempat itu berada lebih kurang 15 kilometer arah utara kota Menes. Letak wilayah kampung Janaka ini berada di sekitar kaki gunung Hasepan.

Meskipun tempat kelahiran ulama yang satu ini berasal dari daerah perkampungan atau "katro" dalam istilah Tukul, akan tetapi jika dilihat dari nama yang disandangnya dengan menggunakan gelar "Mas" adalah mencirikan bahwa ia berasal dari keturunan ningrat yakni dari garis keturunan Pahlawan Kesultanan Banten yang bernama Mas DJong.

Ulama asli kelahiran Banten ini yang dilahirkan pada tahun 1868 M dalam versi Pengurus Besar Mathla'ul Anwar atau 1875 M dalam versi anaknya yakni Muhammad Nahid Abdurrahman adalah merupakan seorang ulama yang syarat akan kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari aneka ragam karya yang dihasilkannya.

Produk santri Timur Tengah (baca: Makkah) ini pada masanya adalah figur seorang ulama yang sangat sulit dicari tandingannya. Karena alasan itulah, maka semenjak kepulangannya dari tanah suci Makkah, dan kemudian mengabdikan dirinya untuk mengelola Mathla'ul Anwar, membuat namanya langsung melonjak dalam deretan ulama terpopuler di Indonesia disandingkan dengan KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan dan ulama-ulama masyhur lainnya.

Terkait dengan momen memperingati milad MA yang ke 91, tepatnya pada tanggal 9 Agustus, maka dalam kesempatan kali ini, sebagai wujud penghormatan kepada jasa beliau, penulis akan mencoba melakukan pemotretan terhadap pola pembelajaran yang diterapkan oleh beliau yang menurut penulis adalah merupakan pola yang brilian dan juga masih sangat relevan dan urgen jika diterapkan untuk saat ini khususnya dilingkungan lembaga pendidikan berbasis madrasah atau pondok pesantren. Pola pembelajaran yang diterapkan oleh KH. Mas Abdurrahman pada masanya terbukti dapat memproduksi sumber daya manusia yang berkualitas khususnya dalam kajian agama Islam.

Yang menarik dari MA, semenjak berdirinya, lembaga perguruan MA telah menerapkan pola klasifikasi pembelajaran. Pola klasifikasi yang diterapkannya menurut itungan tahun bukan berdasarkan jenjang; yakni Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Murid yang menempuh pendidikan di MA pada awalnya di didik selama tujuh tahun. Pola ini kemudian mendapat perubahan pada tahun 1927 M oleh KH. Junaidi seorang ulama setempat yang baru pulang dari Mesir. Ia menyarankan agar masa pendidikan yang diterapkan di MA di tambah dua tahun menjadi sembilan tahun yang terdiri dari kelas persiapan atau kelas A dan B, dan dilanjutkan dengan kelas I sampai kelas VII.

Setelah pola klasifikasi menurut itungan tahun telah lama diterapkan, napaknya kurang mencapai hasil yang memuaskan karena sulitnya mengatur tingkatan materi pelajaran. Karena alasan itulah, maka, berdasarkan hasil musyawarah, pola tersebut kemudian diubah menjadi sistem berjenjang; yakni jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.

Pola klasifikasi yang diterapkan MA pada saat itu adalah sebuah pola yang terbilang maju atau modern, mengingat lembaga-lembaga pendidikan lainya seperti yang dikelola oleh NU sendiri yakni pesantren masih menerapkan pola pendidikan tradisional yang tak mengenal pembagian jenjang seperti itu. Pola pembagian jenjang ditubuh MA ini nampaknya adalah hasil adopsi para ulama termasuk di dalamnya KH Mas Abdurrahman, KH Junaidi dari Timur Tengah terutama dari Mesir.

Pola pembagian berjenjang itu, pada awalnya memang menyulitkan para murid (santri). Perasaan ini muncul diakibatkan oleh kebiasaan mereka sebelumnya yang merasa bebas tanpa ada disiplin yang ketat. Dalam pola pembelajaran pesantren tradisional tak terlihat jelas antara murid yang lama dan baru, atau yang sudah cakap (mahir) atau pemula. Semuanya dikelompokkan dalam ruang dan fasilitas yang sama. Berbeda dengan pola yang diterapkan oleh MA, antar murid terlihat jelas setatus keilmuannya. Bahkan dengan memakai sistem berjenjang tersebut, minat belajar santri dipaksa untuk ditingkatkan, karena jika tidak, maka ancaman tidak naik kelas pun berlaku.

Pola yang pada awalnya "menakutkan" bagi murid ternyata lambat laun justru digemari oleh murid. Dan pola inilah yang kemudian membawa MA menjadi salah satu organisasi pengelola lembaga pendidikan yang digemari oleh masyarakat luas. Hal ini terlihat dari banyaknya cabang-cabang lembaga pendidikan yang berpayung di bawah MA muncul di mana-mana. Salah satu cabang madrasah MA yang pertama kali didirikan adalah madrasah MA di Kayu Jati yang dipimpin oleh KH. Abbas.

Bahkan jika kita menelusur sejarah MA, sangat luar biasa. Pada usia yang masih terbilang muda, pada tahun 1929, MA telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus putri yang dikomandoi oleh Ny. Hj. Zaenab binti KH. Yasin. Langkah terobosan ini sangat berani mengingat pada saat itu, baik itu kondisi di masyarakat maupun kondisi negara masih sangat tabu jika seorang perempuan diberikan kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Akan tetapi sangat disayangkan, informasi yang menyajikan nasib perkembangan lembaga pendidikan khusus putri tersebut pada masanya terutama pengaruhnya dimasyarakat sampai saat ini belum terungkap.

Pola pendidikan yag diterapkan oleh MA adalah pola perpaduan antara sistem madrasah dan sistem pesantren. Para murid dibagi ke dalam tingkatan kelas, masing-masing kelas diberikan kurikulum yang berbeda, dan masing-masing kelas dipimpin oleh guru yang berbeda pula disesuaikan dengan tingkatan keilmuannya. Dengan pola pengaturan ini, maka murid akan dibekali keilmuan secara sistematis mengingat kurikulum yang diterapkan pun diatur secara sistematis pula, dari mulai pelajaran tingkat dasar sampai tingkat yang lebih tinggi. Pola ini terbukti telah mempu menciptakan lulusan yang berkualitas dan mempunyai penguasaan ilmu yang cukup komprehensif.

Yang lebih menarik dari pola pembelajaran MA saat itu adalah pengisian waktu liburan. Dalam hari libur yakni hari kamis dan jum'at, antara para guru dan murid diberikan waktu untuk menimba ilmu kepada guru-guru senior diluar kelas. Khusus untuk para murid, yakni yang berada di kelas IV sampai kelas VI dituntut untuk menyelenggarakan acara muqabalah ke kampung-kampung yang berada di sekitar perguruan MA.

Kegiatan muqabalah adalah sebuah pembekalan kepada para murid yang dibimbing oleh masing-masing guru untuk belajar berdakwah. Dalam kegiatan itu biasanya para murid membawa makanan untuk disedekahkan disamping pula membawa berbagai kitab sebagai bahan materi untuk mengisi pengajian-pengajian di kampung tersebut.

Kegiatan ini diterapkan disamping sebagai media pembelajaran bagi para siswa baik itu kemampuan keilmuan maupun mental, juga sebagai media pengujian terhadap penguasaan akan materi. Pada saat proses muqabalah, para dewan guru, masyarakat dan para santri sebayanya menyaksikan para murid membaca kitab kuning. Pada kegiatan ini, biasanya masing-masing murid diberikan sesi tanya jawab atau koreksi terhadap pembaca kitab. Ketika momen ini berlangsung, antara para murid saling berdiskusi bahkan berdebat satu sama lainnya. Bila muncul suatu permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, biasanya para dewan guru memberika jawabannya.

Cara ini terbilang sangat efektif karena masing-masing murid akan terpacu untuk selalu meningkatkan pengetahuannya. Dan cara ini juga memberikan keuntungan bagi para murid untuk menambah wawasan yang tidak dapatkan di dalam kelas.

Tidak hanya itu, pada akhir tahun, yakni pada bulan Shafar sampai bulan maulid, para santri mengikuti ujian atau pengetesan. Dalam pengetesan ini, KH. Mas Abdurrahman secara langsung melakukannya. Dan pada tanggal 20 Ruah diadakan perayaan kenaikan kelas. Dan pada acara ini biasanya segenap pengurus MA, para kiayi, masyarakat luas menghadiri acara tersebut. Dan menurut penuturan salah seorang santri tempo dulu, pada saat itu biasanya jalan antara menes dan labuan macet total.

Dengan memakai pola pembelajaran seperti di atas, maka perkembangan lembaga pendidikan MA semakin hari semakin menunjukan perkembangan yag sangat pesat. Perkembangan lembaga pendidikan MA tidak hanya berkembang di daerah tempat berdirinya yakni di sekitar Kabupaten Pandeglang, akan tetapi lembaga pendidikan MA telah muncul di dimana-mana bahkan di luar provinsi Jawa Barat pada zaman dahulu (baca: kini Banten). Menurut keterangn yang disampaikan Ketua Umum PB MA, HM. Irsyad Djuwaeli bahwa pada tahun 1996 saja lembaga pendidikan yang dimiliki MA telah mencapai sekitar enam ribu sekolah yang meliputi; Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi.

Perkembangan lembaga pendidikan di bawah naungan MA memang disebabkan oleh perwakilan kepengurusan MA yang hampir berada di setiap daerah. Bahkan menurut HM. Irsyad Djuwaeli "Mathla'ul Anwar telah memiliki perwakilan di 25 Propinsi dan 215 Kabupaten/Kodya di Indonesia. Keberhasilan ini adalah prestasi yang membanggakan, wujud kerja keras segenap aktifis dan jajaran PB MA. Sebab sebagaimana kita ketahui, pada saat mukhtamar tahun 1980 M, Mathla'ul Anwar hanya memiliki pengurus aktif di 4 Propinsi saja". Bahkan perkembangan MA kini semakin bertambah pesat dengan didirikannya sebuah Universitas Mathla'ul Anwar pada tahun 2001 yang memiliki sebelas fakultas dan memiliki ribuan mahasiswa.

Pola pembelajaran yang diterapkan oleh KH. Mas Abdurrahman, pada masanya memang terbukti ampuh. Para alumni perguruan MA saat itu dipercaya oleh masyarakat luas sebagai lulusan yang mempunyai kecakapan ilmu pengetahuan. Sehingga ketika ia kembali ke daerah masing-masing, tak merasa kesulitan untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Akan tetapi masihkah pola pembelajaran yang diterapkan oleh KH Mas Abdurrhaman yang terbukti berhasil itu kini masih diterapkan di perguruan MA. Pertanyaan ini perlu mendapat penelusuran lebih jauh lagi mengingat secara sepintas (penelusuran awal) pola pembelajaran itu kini telah sirna. [ ]


Tulisan ini pernah dimuat di kolom Opini Surat Kabar Fajar Banten, Agustus 2007


0 komentar:

Posting Komentar




Followers