Home » » Dinikahkan Kiyai, Bukan oleh Ka KUA ......KH. Tengku Zulkarnain

Dinikahkan Kiyai, Bukan oleh Ka KUA ......KH. Tengku Zulkarnain

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

ustadz, belum lama ini saya ikut menghadiri prosesi pernikahan kawan saya yang dinikahi oleh seorang kiyai(bukan di KUA), dan cukup syarat serta dihadiri oleh beberapa tokoh dari pihak perempuan, namun bulan depan mereka akan dinikahkan lagi katanya di KUA setempat dengan resmi. yang jadi pertanyaan saya: 1.apakah pernikahannya harus diulang, atau cukup dilaporkan ke KUA bahwa mereka telah dinikahkan, 2, apakah apabila mereka dinikahkan lagi si laki-laki harus memberikan maskawin lagi? 3, apakah cara nikah yang diatas termasuk nikah siri walaupun dihadiri banyak orang dan di hadiri tokoh2 setempat? mohon jawabnya ustadz terima kasih.

Umar Ahmad

Jawaban
Wa'alaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Washsholatu Wassalamu 'Ala Rasulillah

Pernikahan itu sah jika memenuhi syarat dan Rukun yang ada (tidak cukup jika hanya memenuhi Syarat, tapi tidak memenuhi Rukun). Di antara syarat-syarat nikah itu, Islam, Baligh, Waras (berakal). Sedangkan Rukun-rukun nikah itu ada lima : 1. Ada wali si wanita, 2. Adanya dua orang saksi yang adil 3. Adanya pengantin lelaki 4. Adanya pengantin wanita 5. Adanya Ijab dan Kabul.

Wali, Dalam hal ini adalah ayah kandung sang wanita. Jika ayah kandung sudah mati, maka kakek sang wanita itu ( Bapak dari Bapaknya) adalah walinya. Jika sang kakek sudah mati juga, maka saudara kandung yang laki-laki dapat menjadi walinya. Seterusnya dapat menjadi wali adalah paman kandung sang wanita dari pihak ayah kandungnya, kemudian keponakan, yaitu anak kandung dari saudara kandung si wanita itu. Kemudian dapat juga  menjadi wali adalah anak laki-laki paman, yang mana paman itu adalah saudara kandung dari ayah sang wanita itu.
Inilah wali-wali yang disebut wali nasab (seketurunan) dari seorang wanita. Jika seluruh wali tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah Wali Hakim, dalam hal ini di Indonesia yang diangkat Negara bertugas sebagai Wali Hakim adalah:  Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ( Ka KUA Kecamatan), atau Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten/Kota (Ka Kandepag), atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama (Kakanwil Depag), atau Menteri Agama atau Presiden.

Hadis Nabi: "Tidak Sah menikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Adapun nikah mana saja yang dilakukan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil, maka nikahnya itu batil" (HR. Ibnu Hiban, Shohih).

Dalam hadis lain Nabi bersabda: "Sultan (pemerintah) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali" (HR. Ibnu Majah)

Jika sebuah pernikahan mencukupi syarat dan rukun, maka pernikahan itu telah sah menurut Agama Islam. Hanya saja jika pernikahan yang anda tanyakan di atas mereka lakukan tanpa adanya wali dari sang wanita jelas pernikahan itu tidak sah. Tidak boleh sembarang Kiyai menjadi wali bagi wanita itu. Keberadaan wanita yang tidak mempunyai wali, wajib melakukan pernikahan itu dengan wali hakim dalam hal ini, paling tidak wali hakimnya adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Andai saja perkawinan teman anda tersebut dilakukan di hadapan Kiyai tertentu, namun wali sang wanita, yaitu Ayah kandungnya, hadir dan menyerahkan kewaliannya kepada sang Kiayi tersebut, dan seluruh RUKUN NIKAH sudah terpenuhi, maka pernikahan itu sah menurut agama Islam. Tetapi pernikahan seperti ini tidak tercatat dalam lembaran negara. Oleh karena itu jika mereka mengulangi pernikahannya di depan Ka KUA Kecamatan, barulah pernikahan mereka sah menurut negara, dan tercatat dalam lembaran negara. Dengan demikian, demi kemashlahatan yang lebih baik, memang seyogianya pernikahan tersebut diulangi lagi di depan Ka KUA Kecamatan atau Penghulu yang ditunjuk oleh negara yaitu P3NTR. Sedangkan maharnya bisa saja mahar yang terdahulu pada nikah yang di depan Kiyai itu diberikan lagi. Ini memang aneh, tapi untuk melengkapi hukum negara, apa boleh buat. Soalnya biasanya Ka KUA tidak akan mau sekedar menerima laporan pernikahan warga negara yang dilakukan di luar pengetahuannya.Dan, tentu saja Surat Nikah tidak akan dia berikan pula.

Ada kerugian besar, terutama bagi pihak sang wanita jika pernikahannya tidak dicatatkan pada lembaran negara. Antara lain: sulitnya mengurus perceraian jika terpaksa dilakukan, sulitnya mengurus dokumen negara seperti Passport, kredit rumah, KTP, tidak akan mendapatkan Kartu Catatan Sipil bagi kelahiran anak-anak mereka kelak, dan lain-lain.

Pernikahan yang tidak dilakukan dan tidak dicatat di KUA disebut nikah sirri. Pernikahan ini sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut negara Indonesia.

Imam Nawawi Al Bantani mengatakan jika satu hukum yang mubah telah diwajibkan oleh negara, maka menjadi hukum itu menjadi wajib, dan menjadi wajiblah bagi kaum muslimin di negeri itu mentaatinya. Jika suatu hukum yang bersifat sunnat, tetapi diwajibkan oleh negara, maka hukum itu berubah menjadi wajib. Seterusnya jika suatu hukum bersifat wajib, kemudian diwajibkan oleh negara maka menjadi semakin kuatlah kewajibannya.Nah, mengikuti Fatwa Imam Nawawi ini, berarti hukumnya mentaati hukum negara menjadi wajib juga bagi kaum muslimin di Indonesia ini.

Sebagai tambahan keterangan saya masukkan juga perkataan Yunus bi Abdul A'la yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata :Jika dalam satu rombongan ada wanita muslimah yang tidak memiliki wali sama sekali, lalu sang wanita itu menguasakan urusan nikahnya kepada seorang laki-laki muslim agar menguruskan pernikahannya, maka nikah itu menjadi sah. Sebab laki-laki itu termasuk golongan muhakkam ( orang yang diberi kuasa hukum) dan laki-laki itu menempati kedudukan wali. (Lihat Kifayatul Akhyar, Kitabunnikah).
Wallahu a'lam bishowab

0 komentar:

Posting Komentar




Followers