Artikel PENGURUS CABANG MATHLA'UL ANWAR KABUPATEN KUDUS

Selayang Pandang MA

Memoriam KH. Mas Abdurrahman

Oleh:
Muhammad Hakiki & Aceng Abdul Qadir
Peneliti LP3M Universitas Mathla'ul Anwar.



Bagi sebagian orang khususnya masyarakat Banten, nama KH. Mas Abdurrahman mungkin tak begitu dikenal terkecuali bagi mereka yang aktif berkecimpung di sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yakni Mathla'ul Anwar (MA). Akan tetapi, siapa yang menyangka jika kita menelusuri sejarah berdirinya MA, maka sosok KH Mas Abdurrahman bisa disandingkan dengan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdhatul 'Ulama (NU), KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, atau Ahmad Hasan pendiri Persis.

Sosok ulama kharismatik yang mempunyai nama lengkap KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Djamal Al-Djanakawi adalah merupakan produk ulama domestik kelahiran Kampung Janaka, Kecamatan Jiput Kabupaten Pandeglang. Jika kita lihat dari segi geografisnya, tempat itu berada lebih kurang 15 kilometer arah utara kota Menes. Letak wilayah kampung Janaka ini berada di sekitar kaki gunung Hasepan.

Meskipun tempat kelahiran ulama yang satu ini berasal dari daerah perkampungan atau "katro" dalam istilah Tukul, akan tetapi jika dilihat dari nama yang disandangnya dengan menggunakan gelar "Mas" adalah mencirikan bahwa ia berasal dari keturunan ningrat yakni dari garis keturunan Pahlawan Kesultanan Banten yang bernama Mas DJong.

Ulama asli kelahiran Banten ini yang dilahirkan pada tahun 1868 M dalam versi Pengurus Besar Mathla'ul Anwar atau 1875 M dalam versi anaknya yakni Muhammad Nahid Abdurrahman adalah merupakan seorang ulama yang syarat akan kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari aneka ragam karya yang dihasilkannya.

Produk santri Timur Tengah (baca: Makkah) ini pada masanya adalah figur seorang ulama yang sangat sulit dicari tandingannya. Karena alasan itulah, maka semenjak kepulangannya dari tanah suci Makkah, dan kemudian mengabdikan dirinya untuk mengelola Mathla'ul Anwar, membuat namanya langsung melonjak dalam deretan ulama terpopuler di Indonesia disandingkan dengan KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan dan ulama-ulama masyhur lainnya.

Terkait dengan momen memperingati milad MA yang ke 91, tepatnya pada tanggal 9 Agustus, maka dalam kesempatan kali ini, sebagai wujud penghormatan kepada jasa beliau, penulis akan mencoba melakukan pemotretan terhadap pola pembelajaran yang diterapkan oleh beliau yang menurut penulis adalah merupakan pola yang brilian dan juga masih sangat relevan dan urgen jika diterapkan untuk saat ini khususnya dilingkungan lembaga pendidikan berbasis madrasah atau pondok pesantren. Pola pembelajaran yang diterapkan oleh KH. Mas Abdurrahman pada masanya terbukti dapat memproduksi sumber daya manusia yang berkualitas khususnya dalam kajian agama Islam.

Yang menarik dari MA, semenjak berdirinya, lembaga perguruan MA telah menerapkan pola klasifikasi pembelajaran. Pola klasifikasi yang diterapkannya menurut itungan tahun bukan berdasarkan jenjang; yakni Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Murid yang menempuh pendidikan di MA pada awalnya di didik selama tujuh tahun. Pola ini kemudian mendapat perubahan pada tahun 1927 M oleh KH. Junaidi seorang ulama setempat yang baru pulang dari Mesir. Ia menyarankan agar masa pendidikan yang diterapkan di MA di tambah dua tahun menjadi sembilan tahun yang terdiri dari kelas persiapan atau kelas A dan B, dan dilanjutkan dengan kelas I sampai kelas VII.

Setelah pola klasifikasi menurut itungan tahun telah lama diterapkan, napaknya kurang mencapai hasil yang memuaskan karena sulitnya mengatur tingkatan materi pelajaran. Karena alasan itulah, maka, berdasarkan hasil musyawarah, pola tersebut kemudian diubah menjadi sistem berjenjang; yakni jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.

Pola klasifikasi yang diterapkan MA pada saat itu adalah sebuah pola yang terbilang maju atau modern, mengingat lembaga-lembaga pendidikan lainya seperti yang dikelola oleh NU sendiri yakni pesantren masih menerapkan pola pendidikan tradisional yang tak mengenal pembagian jenjang seperti itu. Pola pembagian jenjang ditubuh MA ini nampaknya adalah hasil adopsi para ulama termasuk di dalamnya KH Mas Abdurrahman, KH Junaidi dari Timur Tengah terutama dari Mesir.

Pola pembagian berjenjang itu, pada awalnya memang menyulitkan para murid (santri). Perasaan ini muncul diakibatkan oleh kebiasaan mereka sebelumnya yang merasa bebas tanpa ada disiplin yang ketat. Dalam pola pembelajaran pesantren tradisional tak terlihat jelas antara murid yang lama dan baru, atau yang sudah cakap (mahir) atau pemula. Semuanya dikelompokkan dalam ruang dan fasilitas yang sama. Berbeda dengan pola yang diterapkan oleh MA, antar murid terlihat jelas setatus keilmuannya. Bahkan dengan memakai sistem berjenjang tersebut, minat belajar santri dipaksa untuk ditingkatkan, karena jika tidak, maka ancaman tidak naik kelas pun berlaku.

Pola yang pada awalnya "menakutkan" bagi murid ternyata lambat laun justru digemari oleh murid. Dan pola inilah yang kemudian membawa MA menjadi salah satu organisasi pengelola lembaga pendidikan yang digemari oleh masyarakat luas. Hal ini terlihat dari banyaknya cabang-cabang lembaga pendidikan yang berpayung di bawah MA muncul di mana-mana. Salah satu cabang madrasah MA yang pertama kali didirikan adalah madrasah MA di Kayu Jati yang dipimpin oleh KH. Abbas.

Bahkan jika kita menelusur sejarah MA, sangat luar biasa. Pada usia yang masih terbilang muda, pada tahun 1929, MA telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus putri yang dikomandoi oleh Ny. Hj. Zaenab binti KH. Yasin. Langkah terobosan ini sangat berani mengingat pada saat itu, baik itu kondisi di masyarakat maupun kondisi negara masih sangat tabu jika seorang perempuan diberikan kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Akan tetapi sangat disayangkan, informasi yang menyajikan nasib perkembangan lembaga pendidikan khusus putri tersebut pada masanya terutama pengaruhnya dimasyarakat sampai saat ini belum terungkap.

Pola pendidikan yag diterapkan oleh MA adalah pola perpaduan antara sistem madrasah dan sistem pesantren. Para murid dibagi ke dalam tingkatan kelas, masing-masing kelas diberikan kurikulum yang berbeda, dan masing-masing kelas dipimpin oleh guru yang berbeda pula disesuaikan dengan tingkatan keilmuannya. Dengan pola pengaturan ini, maka murid akan dibekali keilmuan secara sistematis mengingat kurikulum yang diterapkan pun diatur secara sistematis pula, dari mulai pelajaran tingkat dasar sampai tingkat yang lebih tinggi. Pola ini terbukti telah mempu menciptakan lulusan yang berkualitas dan mempunyai penguasaan ilmu yang cukup komprehensif.

Yang lebih menarik dari pola pembelajaran MA saat itu adalah pengisian waktu liburan. Dalam hari libur yakni hari kamis dan jum'at, antara para guru dan murid diberikan waktu untuk menimba ilmu kepada guru-guru senior diluar kelas. Khusus untuk para murid, yakni yang berada di kelas IV sampai kelas VI dituntut untuk menyelenggarakan acara muqabalah ke kampung-kampung yang berada di sekitar perguruan MA.

Kegiatan muqabalah adalah sebuah pembekalan kepada para murid yang dibimbing oleh masing-masing guru untuk belajar berdakwah. Dalam kegiatan itu biasanya para murid membawa makanan untuk disedekahkan disamping pula membawa berbagai kitab sebagai bahan materi untuk mengisi pengajian-pengajian di kampung tersebut.

Kegiatan ini diterapkan disamping sebagai media pembelajaran bagi para siswa baik itu kemampuan keilmuan maupun mental, juga sebagai media pengujian terhadap penguasaan akan materi. Pada saat proses muqabalah, para dewan guru, masyarakat dan para santri sebayanya menyaksikan para murid membaca kitab kuning. Pada kegiatan ini, biasanya masing-masing murid diberikan sesi tanya jawab atau koreksi terhadap pembaca kitab. Ketika momen ini berlangsung, antara para murid saling berdiskusi bahkan berdebat satu sama lainnya. Bila muncul suatu permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, biasanya para dewan guru memberika jawabannya.

Cara ini terbilang sangat efektif karena masing-masing murid akan terpacu untuk selalu meningkatkan pengetahuannya. Dan cara ini juga memberikan keuntungan bagi para murid untuk menambah wawasan yang tidak dapatkan di dalam kelas.

Tidak hanya itu, pada akhir tahun, yakni pada bulan Shafar sampai bulan maulid, para santri mengikuti ujian atau pengetesan. Dalam pengetesan ini, KH. Mas Abdurrahman secara langsung melakukannya. Dan pada tanggal 20 Ruah diadakan perayaan kenaikan kelas. Dan pada acara ini biasanya segenap pengurus MA, para kiayi, masyarakat luas menghadiri acara tersebut. Dan menurut penuturan salah seorang santri tempo dulu, pada saat itu biasanya jalan antara menes dan labuan macet total.

Dengan memakai pola pembelajaran seperti di atas, maka perkembangan lembaga pendidikan MA semakin hari semakin menunjukan perkembangan yag sangat pesat. Perkembangan lembaga pendidikan MA tidak hanya berkembang di daerah tempat berdirinya yakni di sekitar Kabupaten Pandeglang, akan tetapi lembaga pendidikan MA telah muncul di dimana-mana bahkan di luar provinsi Jawa Barat pada zaman dahulu (baca: kini Banten). Menurut keterangn yang disampaikan Ketua Umum PB MA, HM. Irsyad Djuwaeli bahwa pada tahun 1996 saja lembaga pendidikan yang dimiliki MA telah mencapai sekitar enam ribu sekolah yang meliputi; Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi.

Perkembangan lembaga pendidikan di bawah naungan MA memang disebabkan oleh perwakilan kepengurusan MA yang hampir berada di setiap daerah. Bahkan menurut HM. Irsyad Djuwaeli "Mathla'ul Anwar telah memiliki perwakilan di 25 Propinsi dan 215 Kabupaten/Kodya di Indonesia. Keberhasilan ini adalah prestasi yang membanggakan, wujud kerja keras segenap aktifis dan jajaran PB MA. Sebab sebagaimana kita ketahui, pada saat mukhtamar tahun 1980 M, Mathla'ul Anwar hanya memiliki pengurus aktif di 4 Propinsi saja". Bahkan perkembangan MA kini semakin bertambah pesat dengan didirikannya sebuah Universitas Mathla'ul Anwar pada tahun 2001 yang memiliki sebelas fakultas dan memiliki ribuan mahasiswa.

Pola pembelajaran yang diterapkan oleh KH. Mas Abdurrahman, pada masanya memang terbukti ampuh. Para alumni perguruan MA saat itu dipercaya oleh masyarakat luas sebagai lulusan yang mempunyai kecakapan ilmu pengetahuan. Sehingga ketika ia kembali ke daerah masing-masing, tak merasa kesulitan untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Akan tetapi masihkah pola pembelajaran yang diterapkan oleh KH Mas Abdurrhaman yang terbukti berhasil itu kini masih diterapkan di perguruan MA. Pertanyaan ini perlu mendapat penelusuran lebih jauh lagi mengingat secara sepintas (penelusuran awal) pola pembelajaran itu kini telah sirna. [ ]


Tulisan ini pernah dimuat di kolom Opini Surat Kabar Fajar Banten, Agustus 2007


Sekilas MA

Kerjasama dengan Madrasah Singapura

Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (MA) mengadakan kerjasama dengan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah Singapura dalam bidang pengembangan pendidikan madrasah. Kesepakatan kerjasama tersebut itu dicapai dalam kunjungan kerja Pengurus MA ke Singapura tanggal 12-14 Agustus 2010.

”Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah Singapura setuju untuk menyelenggarakan program pengajaran Bahasa Inggris bersertifikat internasional dengan metode distance learning (pengajaran jarak jauh) di madrasah kami,” kata Ketua Bidang Pendidikan Mathla’ul Anwar Jihaduddin Hifni.
Mathla’ul Anwar, organisasi pendidikan dan dakwah yang berdiri pada tahun 1916 di Banten, saat ini mengelola sekitar 4.000 madrasah mulai dari tingkat Raudhatul Athfal (TK), Madrasah Diniyah Awaliyah dan Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawyah (SMP), dan Madrasah Aliyah (SMA) yang tersebar di 26 provinsi seluruh Indonesia.
Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah yang berdiri pada tahun 1948 adalah salah satu dari enam perguruan Islam ternama di Singapura yang menyelenggarakan pendidikan tingkat dasar (Preliminary School) dan menengah (Secondary School) dengan metode pengajaran berbasis fitrah. Madrasah ini dikenal sebagai madrsah terbaik di Singapura dan mendapat perhatian yang cukup luas dari masyarakat muslim Singapura. Al-Irsyad menempati gedung enam lantai beralamat di 277 Bradell Road, Singapura.
Menurut Jihaduddin, kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan Mathla’ul Anwar agar sejajar dengan madrasah modern di Indonesia. ”Ini juga menjadi bukti bahwa umat Islam dari negara yang berbeda dapat bekerjasama tanpa campur tangan pemerintah,” tambahnya.
Sementara itu, Executive Director Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah, Razak Bin Mohamed Lazim, mengatakan sangat terharu terharu dengan kepercayaan yang diberikan Mathla’ul Anwar untuk bekerjasama dalam bidang pendidikan Bahasa Inggris. ”Kami menyambut dengan gembira dan tangan terbuka tawaran kerjasama ini,” katanya.
Sejak tiga tahun lalu Madrasah Al-Irsyad Singapura telah mengembangkan sister school dengan dua sekolah di Indonesia, yaitu di Magetan dan Bandung. Menurut Damanhuri Abbas, salah seorang guru senior di Al-Irsyad, kerjasama ini telah menunjukan hasilnya yaitu meningkatnya kemampuan siswa dalam berbahasa Inggeris pada dua sekolah tersebut.
MA menginginkan hal yang sama dalam kerjasama ini yaitu meningkatnya kemampuan bahasa Inggris siswa alumnus MA. Di MA selama ini pelajaran bahasa Inggris telah diberikan mulai dari MI s/d Aliyah namun tidak membuat siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Dalam waktu dekat, pimpinan Madrasah Al-Irsyad Singapura akan berkunjung ke sejumlah madrasah Mathla’ul Anwar di Banten. *

Peran Sosial Jawara
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten. [21]
Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. [22] Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.
a.     Jaro
Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang sering disebut jaro. [23] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. [24] Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). [25]
 
b.    Guru silat
Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang. [26] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. [27] Setiap perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.
 
c.     Guru Ilmu Batin (Magis)
Seorang jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki ilmu “batin” atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal, pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah tulang dan  tukang pijit.
Kecenderungan terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi  yang melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. [28]
Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti  (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya. [29]
 
d.       Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Peran jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan bencana atau kecelakaan.
Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. [30]
Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.
 
e.     Tentara Wakaf dan Khodim Kyai
Peran jawara sebagai “tentara wakaf” ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka biasanya diterjunkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Pada masa Orde Baru “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan pengamanannya di Banten. Bahkan, ketua umumnya sendiri dijadikan pengurus partai politik tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang terjadi di negeri ini pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka sekarang nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi pada partai tertentu. Oleh karena itu, apabila ada tawaran-tawaran untuk menjaga keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka dan menerima tawaran tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik.
Jawara yang sebenarnya adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai “khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang materialistik.
 
Jaringan & Hubungan Kyai & Jawara
Kedudukan dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau yang sedang dalam transisi, seperti masyarakat Banten, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial yang demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan “solidaritas mekanis.” [31]
Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan adalah ijazah dan kawalat. [32]
Ijazah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Ijazah ini sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Pemberian ijazah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah ijazah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa ijazah dari sang guru ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.”
Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya.
 

Jaringan Kyai

Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
 
a.     Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
1.     K.H. Asytari
2.     Imam Nawawi
3.     Kyai Umar
4.     Kyai Arabi
5.     Kyai Ali
6.     Kyai Jamad
7.     Kyai Janta
8.     Kyai Masbugil
9.     Kyai Masqun
10.  Kyai Masnun
11.  Kyai Maswi
12.  Kyai Tajul Arusy Tanara
13.  Maulana Hasanuddin Banten
14.  Maulana Syarif Hidayatullah
15.  Raja Atamuddin Abdullah
16.  Ali Nuruddin
17.  Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
18.  Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
19.  Abdullah Adzmah Khan
20.  Amir Abdullah Malik
21.  Sayyid Alwi
22.  Sayyid Muhammad Mirbath
23.  Sayyid Ali Khali’ Qasim
24.  Sayid Alwi
25.  Imam Ubaidiilah
26.  Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
27.  Imam Isa al-Naqib
28.  Imam Muhmmad Naqib
29.  Imam Ali Ardhi
30.  Imam Ja’far al-Shadiq
31.  Imam Muhammad al-Baqir
32.  Imam Ali Zainal Abidin
33.  Sayyidina Husain
34.  Sayyidatuna Fathimah Zahra
35.  Nabi Muhammad Saw.
 
Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.
 
b.    Guru-Murid
Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] .
Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Nabi Muhammad Saw.
2.        Ali bin Abi Thalib
3.        Husein bin Fatimah Al-Zahra
4.        Imam Zainal Abidin
5.        Syaikh Muhamad al-Baqir
6.        Syaikh Ja’far al-Shadiq
7.        Syaikh Musa al-Kadzim
8.        Syaikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
9.        Syaikh Ma’ruf al-Karkhi
10.     Syaikh Sari al-Saqati
11.     Syaikh Abi al-Qasim Junayd
12.     Sayikh Abu Bakar al-Shibli
13.     Syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi.
14.     Syaikh Abi al-Faraj al-Tartusi
15.     Syaikh Abi Hasan al-Hiraki
16.     Syaikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
17.     Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani
18.     Syaikh Abd al-Aziz
19.     Syaikh Muhammad al-Hattaki
 
20.    Syaikh Syams al-Din
21.    Syaikh Syaraf al-Din
22.    Syaikh Zayn al-Din
23.    Syaikh Nur al-Din
24.    Syaikh Waliyu al-Din
25.    Syaikh Husham al-Din
26.    Syaikh Yahya
27.    Syaikh Abi Bakr
28.    Syaikh Abd al-Rahim
29.    Syaikh Ustman
30.    Syaikh Kamal al-Din
31.    Syaikh Abd al-Fattah
32.    Syaikh Murod
33.    Syaikh Syams al-Din
34.    Syaikh Ahmad Khatib Sambas
35.    Syaikh Abdul Karim Tanara
36.    K.H. Asnawi
37.    K.H. Ahmad Suhari
38.    K.H. Khodim
 
c. Organisasi Massa
          Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
1.        K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang
2.        K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
3.        K.H. Mohammad Nur dari Keramat Watu, Serang.
4.        K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang
5.        K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
6.        K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Keramat Watu Serang.
7.        K.H. Ismail dari Keragilan Serang.
8.        K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
9.        Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
10.     Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
11.     K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
12.     K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.
 

Jaringan Jawara

Para jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain membangun jaringan yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu, pertemanan dan sebagainya.
Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib.
 
a.     Kekerabatan
Meskipun jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam tradisi kehidupan para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting dalam membina hubungan solidaritas dan pengajaran elmu-elmu kesaktian dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya, dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke orang lain.
Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan dalam kehidupan mereka. Para jawara sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber wawanen (berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3) kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji). [38]
 
b.    Seguru-seelmu
Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau magis, adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan “abah”, yang artinya sama dengan “bapak”. Panggilan itu menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya.
Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguron-perguron persilatan yang masih tetap bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup terkenal karena memiliki jaringan yang cukup besar adalah Trumbu, Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) dan Jalak Rawi.
 
c.     Organisasi Massa
Organisasi yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971, hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama). [39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur tangan pemerintah  dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi politik yang ada di wilayah Banten. [40]
 

Hubungan Kyai dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. [41]
Kyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).
Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]
 
PENUTUP
Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur kyai dan jawara.
Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.
Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kedua, kyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat.  Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.
Ketiga, peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang kyai adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.
Sementara itu, peranan sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan  fisik dan “batin,” sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional yang sering dimainkan para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, memiliki signifikansi yang tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan. Tentunya, demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan dibandingkan dengan peranan masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan masyarakatnya
Keempat, jaringan tradisional yang dibangun kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.
Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai. Sebaliknya, kyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.
Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan: 
1.     Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.
2.     Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap kehidupan sosial di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Ambary, Hasan Ambary dan Halwany Michrob, “Bandar Banten, Penduduk dan Golongan Masyarakatnya: Kajian Historis dan Arkeologis serta Prospek Masyarakat Banten ke Masa Depan,” dalam Makalah pada Simposium Internasional Kedudukan dan Peranan Bandar Banten dalam Perdagangan Internasional, Gedung DPRD Serang, 9 Oktober 1995.
Aminuddin, Sandji, ”Kesenian Rakyat Banten, dalam Makalah pada Diskusi Ilmiyah Kedudukan Bandar Banten dalam Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutera, di Serang pada 18-21 Oktober 1993.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. IV, Mizan, Bandung, 1998.
Banten dalam Angka Tahun 2000, Bapeda Propinsi Banten & Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Arisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000.
van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:  Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, cet. III, Mizan, Bandung, 1999.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1985.
Ekadjati, Edi S.,  Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
Geertz, Cilfford, The Religion of Java, University of Chicago Press, Chicago, 1970.
Guillot, Cluade,  The Sultanate of Banten, Gramedia, Jakarta, 1990.
Guillot, Claude, dkk, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 9321-1526, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1996.
Hefner, Robert W., Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A Wisnuhardana & Imam Ahmad, LKiS, Yogyakarta, 1999.
Hobsbbawn, E.J., “Bandit Sosial” dalam Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999.
Horikoshi, Hiroko,  Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987.
Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.
Djalil Afif, Abdul dkk., Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khariyah: Suatu Kajian tentang Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan, Laporan hasil penelitian, Fakultas Syari’ah IAIN “SGD” di Serang 1997.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
Kahin, Audery R., Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, terj. Satyagaha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1990.
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984.
_________, Modern Indonesia: Tradition and Transformation, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.
Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990.
Lukes, Steven, Emile Durkheim: His Life and Work, Penguin Books, New York, 1981.
Madge, John, The Origins of Scientific Sociology, The Free Press, New York, 1968.
Mansur, Khatib, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi: Catatan Kesaksian Seorang Wartawan, Antara Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
_________ dan Moenthadim, Martin (eds.), Profile Haji Chasan Sochib Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten, Pustaka Antara Utama, Jakarta, 2000.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Michrob, Halwany dan Chudari, A. Mudjadid, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993.
Muzakki, Makmun “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.
Rubington, Earl and Weinberg, Martin S., Deviance: The Interactionist Perspective, Macmillan Publishing, New York, 1987.
Short, James F., “Subculture” dalam Adam Kuper and Jessica Kuper (eds.), The Social Science Encyclopaedia, The Macmillan Company and Free Press, New York, 1972.
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999.
Sunarta, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal,” dalam Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 1997.
Suharto, “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.
_________, Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996.
Suparlan, Parsudi, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama”, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama,  Puslitbang Depag RI, Jakarta, 1981.
Steenbrink, Karl A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1984.
­_________, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Tihami, M.A., “Kyai dan Jawara di Banten,” dalam Tesis Master Univervesitas Indonesia, 1992.
_________, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company, Belmont, 1998.
Turner, Ralph H., “Social Roles: Sociological Aspects”, dalam International Encyclopaedia of Social Sciences, Macmillan, New York, 1968.
Williams, Michael Charle, Communism, Religion, and Revolt in Banten, Center for International Studies, Ohio University, 1990.
Willner, Ann Ruth dan Willner, Dorothy “Kebangkitan dan Peranan Pemimpin-pemimpin Kharismatik” dalam Sartono Kartodirdjo, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Weber, Max,  The Theory of Social and Economic Organization, trans. Henderson and Talcott Parsons, The Free Press, New York, 1966.
Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, LKiS, Yogyakarta, 1999.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
 
 


[21] H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.
 
 

[22] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 83
 
 

[23] Sebenarnya asal-usul kata jaro tidak jelas dan semenjak kapan kata tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu wilayah administrasi pedesaan. Menurut M.A. Tihami bahwa jaro itu berasal dari bahasa Arab “jar” yang artinya tetangga. Sebuah desa Banten pada zaman dulu memang mengelompok dalam suatu daerah tertentu sehingga antar satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah bertetangga (jar). Sehingga suatu daerah yang sudah dihuni oleh banyak keluarga dikenal dengan kejaroan, maka orang yang menjadi pemimpin dari suatu kejaroan tersebut disebut jaro. Lihat M.A. Tihami, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten, dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
 
 

[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 81.
 
 

[25] Ibid.
 
 

[26] Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 25.
 
 

[27] Khatib Mansur dan Martin Moenthadim (ed.), op.cit., hlm. 2.
 
 

[28] Husein Djayadiningrat, op.cit., hlm. 34.
 
 

[29] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), hlm. 157-166.
 
 

[30] Sebenarnya memang ada hubungan yang dekat antara tarekat dengan permainan debus, terutama debus al-madad, dalam hal wasîlah atau hadlarat kepada para silsilah syaikh-syaikh sufi dan pengamalan doa-doanya. Lebih jauh lihat Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, dalam Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.
 
 

[31] Steven Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work, (New York: Penguin Books, 1981), hlm. 140.
 
 

[32] Lihat M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten”, op.cit., hlm. 181.
 
 

[33] Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 61-62.
 
 

[34] Sumber berasal dari Yayasan Nawawi Tanara Banten.
 
 

[35] Jaringan intelektual yang terjalin antara ulama di timur Tengah dengan para ulama di Nusantara terutama pada abad XVII dan XVIII dijelaskan secara komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
 
 

[36] Al-Khaeriyah didirikan oleh K.H. Syam’un berlokasi di Citangkil-Cilegon. Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Abdurahman yang bertempat di Menes Pandeglang. Sedangkan, Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Asnawi di Caringin-Labuan, Pandeglang.
 
 

[37] Organisasi masa yang menghimpun para alumni lembaga Al-Khaeriyah kini dipimpin oleh Prof. Dr. H. M.A. Tihami, M.A. yang juga Ketua STAIN “SMHB” Serang.
 
 

[38] Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, dalam Disertasi Pada Program Pascasarjana, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1997), hlm. 2002.
 
 

[39] Lihat hasil wawancara dengan Haji Tb. Chasan Sochib dalam buku yang disunting oleh Khatib Mansur dan Martin Moentadhim S.M., (eds). op.cit., hlm. 87.
 
 

[40] Hasil wawancara dengan Aep, salah seorang pengurus P3SBBI pada 2 Oktober 2002 di Kantor PESBBI, Serang.
 
 

[41] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 224. Lihat pula Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, hlm. 131.
 
 

[42] Karl D.Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
 
 

[43] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten,” op.cit., hlm. 103.



Followers