Artikel PENGURUS CABANG MATHLA'UL ANWAR KABUPATEN KUDUS

Kalender Matahari Milik Kaum Muslimin ..... KH. Tengku Zulkarnain

Kalender Matahari Milik Kaum Muslimin
Jum`at, 8 Muharram 1431 H / 25 Desember 2009
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang (matahari) itu terang benderang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan waktu. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”. (Qur'an surah Al Isra’: 12)
Banyak orang menyangka bahwa Kalender Matahari atau disebut Kalender Masehi adalah milik kaum Nasrani. Di Indonesia pendapat seperti ini hampir berurat berakar dalam masyarakat. Bahkan, banyak hari ini orang yang mencela dengan pedas kaum muslimin yang masih mempergunakan kalender Masehi dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai Muslim pengekor kaum kuffar.
Benarkah kaum muslimin yang memakai Kalender Masehi pengekor kaum kuffar?
Ada yang mengatakan kita kaum muslimin sudah punya kalender sendiri, kalender Islam, kalender Sunnah, yakni kalender Hijriyah. Maka, memakai kalender Masehi berarti mencampakkan dan menghina kalender Islam! Benarkah pendapat ini?
Dalam perjalanan sejarah dunia, paling tidak ada dua jenis kalender yang dipakai untuk perhitungan waktu bagi manusia. Suku Maya di Amerika Latin dan orang-orang Mesir di Afrika, menurut bukti sejarah yang ada telah menggunakan dan mengembangkan kalender Matahari dalam kehidupan sehari-hari mereka pada kurun waktu 5000 tahun Sebelum Masehi.
Julius Caesar yang berkuasa pada sekitar 200 tahun SM telah menggunakan dan mempopulerkan Kalender Matahari (Masehi) di seluruh tanah jajahan Romawi. Dengan demikian, pada saat Yesus lahir di Palestina, masyarakat Palestina otomatis memakai perhitungan Kalender Matahari, sebagai konsekuensi tanah jajahan Romawi pada saat itu.
Sebaliknya, masyarakat Arab telah terbiasa selama ribuan tahun memakai Kalender Bulan untuk perhitungan hari-hari mereka. Itulah sebabnya ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan, mereka sudah dapat mencatat harinya, yaitu, Senin 12 Rabi'ul Awwal. Hanya tahunnya saja yang belum mempunyai patokan awal. Dan mereka menyebut tahun-tahun mereka sesuai dengan kejadian besar yang berlangsung di tahun itu. Tahun kelahiran Nabi ditandai dengan datangnya 'Pasukan Gajah' yang dipimpin Abrahah dengan tujuan  ingin menghancurkan Ka’bah, untuk kemudian tahun itu disebut Tahun Gajah. Di lain pihak, Orang-orang Parsi, 'Super Power' saingan Romawi, sudah pula ribuan tahun mempergunakan Kalender Bulan. Dengan demikian, dua belahan dunia terbagi dua dalam penggunaan Kalender, sebagai usaha mereka menghitung waktu.
Tidak heran jika kemudian kaum Nasrani terbiasa memakai kalender Masehi karena pengaruh jajahan Romawi atas Palestina, sementara ummat Islam terbiasa pula memakai kalender Bulan yang memang sudah turun-temurun berlaku pada masyarakat Arab. Namun demikian, tidaklah berarti kalender Matahari milik orang Nasrani saja, dan Kalender Bulan hanya milik orang Islam saja. Terbukti orang Jawa, orang Cina, Jepang, Korea, dan Mesir terbiasa memakai kalender Bulan, bahkan ribuan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara Suku Maya di Latin Amerika, mereka memakai Kalender Matahari juga selama ribuan tahun pula.




Tahun Matahari
Jika kita teliti lebih mendalam ternyata tidak satupun ayat suci pada kitab Taurat, pegangan orang Yahudi, ataupun kitab Injil pegangannya orang Nasrani, yang memuat Matahari sebagai alat perhitungan waktu. Justru hitungan waktu dengan memakai peredaran matahari didapati pada kitab suci Al Qur’an pegangannya kaum Muslimin. Lantas bagaimana bisa muncul kesimpulan bahwa tahun Matahari adalah miliknya orang Nasrani? Apakah karena mereka terbiasa memakai tahun matahari itu maka 'otomatis' Kalender Matahari menjadi milik mereka? Perlu diketahui bahwa memakai belum tentu memiliki. Memakai bisa saja diperoleh dengan cara meminjam, dan bukan mesti, memilikinya!
Dalam Al Qur’an, pada surat Al Isra’ ayat 12 di atas, dijelaskan setidaknya ada dua fungsi matahari yang rutin dipakai keseharian ummat manusia: Pertama, untuk mempermudah mencari rezeki; dan yang kedua, untuk menghitung tahun-tahun dan waktu, yakni pemakaian kalender. Secara jelas ayat ini mengatakan bahwa dengan matahari itu manusia dapat menghitung tahun-tahun dan waktu. Yang menjadi pertanyaan, waktu apakah yang dihitung berdasarkan peredaran matahari? Tidak lain waktu matahari, bukan? Dan, tahun apakah yang dapat diketahui manusia dari peredaran matahari itu? Jawabnya tidak lain adalah tahun  Matahari pula, bukan Tahun Bulan…..!


Ibadah Dalam Agama Islam Menggunakan Waktu Matahari
1. Sholat
Ibadah yang paling penting dalam Islam adalah sholat fardhu lima waktu. Khusus untuk menetapkan waktunya, Allah sendiri yang menetapkannya tanpa campur tangan Baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lihat surat An Nisa' ayat 103 Artinya:  “….Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa waktu sholat fardhu yang lima itu, kesemuanya ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Itulah sebabnya pada saat Rasulullah baru pulang dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj, Baginda telah diwajibkan untuk menjalankan sholat fardhu lima kali dalam sehari semalam. Sebagaimana diketahui Baginda diperjalankan Allah setelah waktu isya’ dan pulang kembali ke bumi saat sebelum waktu shubuh. Namun, Baginda tidak serta merta melakukan sholat fardhu shubuh. Hal ini pertama, karena Baginda belum tahu bagaimana tata cara sholat shubuh itu. Dan yang kedua, belum tahu waktu pelaksanaan sholat shubuh itu. Oleh karena itu Baginda Rasul menunggu petunjuk pelaksanaannya dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini mestinya menjadi pelajaran penting bagi ummat Islam, bahwa kita mesti mengikuti Baginda Nabi dengan tidak berlagak pandai akan sesuatu perkara agama yang belum kita pelajari dari para ulama. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah: Dan tanya olehmu kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.
Keesokan harinya pada saat tergelincir matahari, barulah Malaikat Jibril datang mengajari Nabi tata cara dan waktu sholat fardhu lima kali semalam itu. Ternyata waktu yang dipakai adalah waktu matahari, yakni waktu yang dihitung berdasarkan pergerakan matahari. Hal ini tergambar jelas pada ibadah sholat, yakni ibadah yang paling utama dalam Islam tersebut.
Waktu sholat lima waktu itu adalah; Ketika cahaya matahari memantul di langit berwarna putih, waktu fajar mulai menyingsing, saatnya kaum muslimin sholat shubuh. Saat matahari berada tepat di atas kepala dan tergelincir sedikit ke arah barat, waktunya sholat dzuhur. Ketika matahari condong ke barat dan bayang-bayang sepanjang benda aslinya, waktunya sholat ashar. Saat matahari tenggelam di ufuk barat, adalah waktunya sholat magrib. Ketika cahaya matahari yang tertinggal di ufuk barat berupa safaq merah, saatnya waktu sholat isya. (terjemahan bebas dari hadis riwayat Imam Abu Dawud dan Turmidzi. Imam Turmidzi menghasankannya. Dan, hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan Ibnu Khuzaimah)
2. Ibadah Puasa
Adapun ibadah puasa memakai dua perhitungan waktu. Untuk penentuan hari pertama (satu Ramadhan), dan hari terakhir dari ibadah puasa (malam 1 Syawal) dipakai waktu berdasarkan peredaran bulan. Nabi ada bersabda: “Puasalah kamu jika kamu telah melihat bulan. Dan berhari rayalah kamu jika kamu telah melihat bulan. Namun apabila bulan tidak kelihatan, maka genapkanlah olehmu puasamu itu sebanyak 30 hari.” ( H.R. Muslim).
Dari hadis ini jelas waktu peredaran bulan dipakai untuk menentukan hari awal dan akhir Ramadhan. Namun, untuk waktu imsyak dan waktu berbuka setiap harinya, ibadah puasa tetap memakai waktu berdasarkan peredaran matahari juga. Lihat Al Qur’an, surat Al Baqarah 187: “Maka makan dan minumlah kamu sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakan puasamu itu sampai datang malam hari.”
3. Ibadah Haji
Dalam ibadah Haji penetapan hari-harinya seperti hari Tarwiyah, hari Arafah, hari Nahr dan 3 hari Tasyriq, semuanya memakai waktu peredaran Bulan. Lihat surah Al Baqarah ayat 189, artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji….”
Ternyata dalam menetapkan hari-hari untuk ibadah Haji dipergunakan waktu peredaran bulan. Namun, saat dimulai dan diakhirinya pelaksanaan ibadahnya Islam memerintahkan untuk digunakan waktu matahari. Contohnya: Hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, ditetapkan berdasarkan waktu peredaran bulan, sedangkan saat wukuf dimulai dan diakhiri dengan menggunakan peredaran waktu Matahari, yakni dimulai saat tergelincir matahari waktu Dzuhur sampai dengan tenggelamnya matahari waktu magrib.   
Dari keterangan-keterangan di atas ini, jelaslah bahwa Islam memakai perhitungan waktu peredaran matahari dan waktu peredaran bulan. Dengan demikian, sangat tidak tepat jika dikatakan Kalender Matahari atau yang populer disebut Kalender Masehi adalah kalendernya umat Nasrani, bukan kalender kita umat Islam. Padahal orang-orang Nasrani tidak pernah beribadah berdasarkan waktu matahari. Sementara itu perhitungan waktu matahari dan tahun matahari sama sekali tidak pernah disinggung pula dalam kitab suci mereka. Dan, yang ada keterangan waktu dan tahun matahari itu justru di dalam Al Qur’an, kitab sucinya umat Islam dan perhitungan tahun matahari untuk sarana peribadatan, di samping juga mempergunakan tahun perhitungan bulan.


Kesimpulan
Kitab suci umat Islam telah memuat penjelasan Tahun Matahari dan Tahun Bulan sekaligus di dalamnya, dan ternyata dalam prakteknya sehari-hari umat Islam di belahan bumi ini memakai pula kedua-dua kalender tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan dalam ibadah-ibadah mereka kedua-duanya dipakai juga.  Artinya, selain kaum Muslimin memiliki Kalender Matahari dan Kalender Bulan dalam Kitab Sucinya, mereka juga sekaligus memakainya pula.
Nah, kalau begitu, bagaimana Kalender Masehi bisa jadi miliknya orang Nasrani……?


Wallahu a’lam bishshowab.

Ilmu dan Cara Mendapatkannya ..... KH. Tengku Zulkarnain

Ilmu adalah pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hamba yang diinginkan-Nya. Usaha manusia untuk mendapatkan ilmu diwajibkan oleh Allah dalam beberapa hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Artinya, manusia berdosa jika meninggalkan usaha dalam mendapatkan ilmu itu. Sebaliknya, jika usaha sudah dilakukan, sementara ilmu itu tidak juga dapat dikuasai, maka orang tersebut sudah terhindar dari kesalahan, sebab yang wajib adalah menuntut ilmu, bukan mendapatkannya. Adapun mendapatkan ilmu, semata-mata hanyalah karunia Allah saja.
Dengan demikian janganlah merasa kecewa dan putus asa jika seseorang sudah belajar suatu ilmu tertentu pada waktu yang lama, ternyata orang itu gagal menguasai ilmu tersebut. Ini bukan lagi salahnya, akan tetapi memang Allah tidak berkenan memberikan ilmu itu padanya.
Dalam kenyataan hidup ini banyak kita jumpai orang yang belajar membaca Al-Qur’an, misalnya, sudah bertahun-tahun melakukannya dengan sungguh-sungguh, namun ternyata hasil yang dia peroleh tidak sesuai harapan. Dia tetap saja tidak dapat mengucapkan huruf-hurufnya dengan fashih, dan banyak melakukan kesalahan dalam tajwid dan waqaf-ibtida’nya. Kenapa bisa terjadi? Tidak lain karena tidak diberikan oleh Allah. Hal ini sudah Allah jelaskan dalam surat Bani Israil ayat 85 :
Artinya:   “Dan tidaklah kamu diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit saja
Bagaimanakah cara mendapatkan ilmu itu?
Ilmu itu dapat diperoleh oleh seseorang dengan melalui beberapa jalan. Tidak seperti yang sering dianggap oleh kebanyakan orang bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkannya adalah dengan belajar dan menuntutnya . Di antara cara mendapatkan ilmu itu antara lain :
1.       Belajar, dan menuntut ilmu tersebut dari orang lain.
Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
Artinya : “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan .”
Dalam hadits yang lain :
Artinya : “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah membuatnya berjalan di salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya orang berilmu dimintakan ampunan oleh makhluk yang berada dia langit dan bumi, serta ikan di tengah hari. Sesungguhnya keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada saat purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mewariskan ilmu. Barangsiapa mendapatkannya, ia mendapatkan keuntungan yang besar.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad Darimi)
2.       Diajarkan langsung oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala tanpa diajarkan oleh orang lain.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala  dalam Surat Al Baqarah ayat 31 :
Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
3.       Ilmu didapat dengan beramal.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
Artinya: “Barangsiapa mengamalkan satu ilmu yang telah diketahuinya, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu-ilmu lain yang sebelumnya dia tidak tahu.” (HR. Abu Nu’aim).
Tidak heran jika banyak orang-orang sholih yang rajin beramal dianugerahi Allah banyak ilmu sebagai buah amal yang rajin dilakukannya bertahun-tahun. Ilmu yang tidak diperoleh oleh orang-orang yang banyak bicara dan berdebat dengan orang lain!
4.       Ilmu didapat dengan bertaqwa.
Firman Allah Subhanallahu Wa Ta’ala Surat Al Baqarah ayat 282:
          Artinya: “Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
5.       Ilmu dapat diperoleh dengan diajarkan oleh makhluk lain
Di zaman dahulu ketika manusia baru pada generasi pertama, telah terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil, salah satu putera Nabi Adam Alaihissalam, terhadap saudara kandungnya yang sholih, Khabil. Setelah Qabil membunuh saudaranya itu, dia ketakutan dan kebingungan karena tidak tahu bagaimana caranya mengamankan tubuh saudaranya yang sudah menjadi mayat itu. Tiba-tiba dengan perintah Allah turunlah sepasang burung gagak yang saling tempur di depannya, kemudian salah seekor dari gagak itu mati. Kemudian gagak yang menang menggali lubang serta menguburkan gagak yang mati. Maka, terkesimalah Qabil dan dia pun mendapatkan ilmu dari burung itu. Kisah ini ada dalam Al-Qur’an surat al Maidah ayat 30-31.
Beberapa jurus-jurus bela diri terkenal dari mancanegara banyak yang dipelajari dari cara binatang berkelahi, seperti jurus kucing, jurus harimau, jurus bangau, jurus ular dan lain-lain sebagainya.
Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada dikisahkan beberapa orang sahabat nabi, justru mendapatkan ilmu sebab diajari oleh syaitan. Kisah tersebut antara lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu telah berkata dia :
“Aku ditugaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menjaga hasil zakat pada bulan Ramadhan.Tiba-tiba datanglah seseorang kepadaku, dan mengambil sedikit dari zakat itu, maka aku menangkapnya seraya berkata, ”Kamu akan kuadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Orang itu berkata, “Biarkan aku. Sesungguhnya aku orang miskin, punya banyak anak, dan sangat membutuhkan. Maka aku pun melepaskannya. Pada keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadaku, “Hai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu kemarin ?” Aku menjawab, “Ya Rasulullah, dia mengadukan kemiskinannya dan kelurganya yang banyak, maka aku kasihan dan aku membebaskannya.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang itu berdusta kepadamu, dan dia akan kembali.” Saya sadar bahwa orang itu akan kembali karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakannya. Maka aku pun mengintipnya. Ternyata ia datang untuk mengambil makanan. Maka aku menangkapnya lagi seraya berkata, “Sungguh aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Dia berkata, “Lepaskan aku. Sesungguhnya aku sangat membutuhkan dan punya keluarga yang banyak, saya tidak akan kembali.” Maka aku pun mengasihaninya dan membebaskannya lagi. Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadaku, “Hai Abu Hurairah, apa yang telah dilakukan tawananmu kemarin ?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan kemiskinan dan jumlah kelurganya yang banyak, maka aku pun kasihan dan membebaskannya lagi.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya dia berdusta kepada mu dan dia akan kembali.” Maka pada yang ketiga kalinya aku mengintipnya kembali. Dia datang mengambil makanan. Segera aku menangkapnya seraya aku berkata, “Sungguh aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah. Ini adalah yang ketiga kalinya kamu mengatakan bahwa kamu tidak akan kembali, namun nyatanya engkau kembali lagi.” Dia berkata,Biarkan aku mengajari mu beberapa kalimat yang dengannya kamu akan beroleh manfaat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Saya bertanya, “Kalimat apakah itu ?” Dia berkata, “Apabila kamu hendak tidur maka bacalah ayat kursi, “Allah, Tiada Tuhan melainkan Dia yang Hidup Kekal dan terus menerus mengurus makhluknya….” Dia membaca hingga akhir ayat. “Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa menurunkan pelindung bagimu dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi”. Maka aku pun membebaskannya. Keesokan hari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadaku, “Apa yang telah dilakukan oleh tawanan mu kemarin?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dia telah mengajariku beberapa kalimat yang dengannya Allah akan memberiku manfaat, maka aku pun melepaskannya”.  Beliau bertanya, “Kalimat apakah itu ?” Dia berkata kepadaku, ”Apabila kamu akan tidur, maka bacalah Ayat kursi dari awal hingga dia menyelesaikan ayat “Allah, tiada Tuhan melainkan Dia yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus makhluknya…“ Dia berkata kepadaku, “Allah akan senantiasa menurunkan pelindung bagimu dan syaitan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” Para sahabat sangat menyukai kebaikan. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Dia telah berkata benar kepadamu, dan sebenarnya dia adalah pendusta. Hai Abu Hurairah, tahukah dengan siapa kamu berbicara selama tiga malam itu ?” Saya menjawab, “tidak.” Nabi bersabda, “Dia adalah Syaitan.”  (HR. Bukhari) .
          Hadits ini menunjukkan bahwa apabila Allah berkehendak, maka Dia mampu untuk memerintahkan siapa saja, bahkan termasuk syaitan sekalipun untuk memberikan ilmu dan pelajaran kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
          Kisah yang senada dengan kisah di atas pernah dialami oleh beberapa shahabat Nabi yang berbeda. Silakan ruju’ pada kitab Tafsir Ibnu Katsir keterangan pada ayat kursi, surat Al-Baqarah ayat 255.
Di dalam kitab Tanbihul Ghafilin ada lagi dikisahkan sebuah hadits tentang perjumpaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Iblis la’natullah ‘alaihi, di mana ketika itu Iblis telah diperintahkan oleh Allah untuk mengajari Rasulullah tentang sepuluh jenis manusia sahabat Iblis dan sepuluh jenis yang menjadi musuhnya. Dialog antara Rasulullah dan Iblis itu menjadi pelajaran yang berharga bagi  ummat Islam sampai sekarang ini.
Wallahu A’lam Bishshowab

Dinikahkan Kiyai, Bukan oleh Ka KUA ......KH. Tengku Zulkarnain

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

ustadz, belum lama ini saya ikut menghadiri prosesi pernikahan kawan saya yang dinikahi oleh seorang kiyai(bukan di KUA), dan cukup syarat serta dihadiri oleh beberapa tokoh dari pihak perempuan, namun bulan depan mereka akan dinikahkan lagi katanya di KUA setempat dengan resmi. yang jadi pertanyaan saya: 1.apakah pernikahannya harus diulang, atau cukup dilaporkan ke KUA bahwa mereka telah dinikahkan, 2, apakah apabila mereka dinikahkan lagi si laki-laki harus memberikan maskawin lagi? 3, apakah cara nikah yang diatas termasuk nikah siri walaupun dihadiri banyak orang dan di hadiri tokoh2 setempat? mohon jawabnya ustadz terima kasih.

Umar Ahmad

Jawaban
Wa'alaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Washsholatu Wassalamu 'Ala Rasulillah

Pernikahan itu sah jika memenuhi syarat dan Rukun yang ada (tidak cukup jika hanya memenuhi Syarat, tapi tidak memenuhi Rukun). Di antara syarat-syarat nikah itu, Islam, Baligh, Waras (berakal). Sedangkan Rukun-rukun nikah itu ada lima : 1. Ada wali si wanita, 2. Adanya dua orang saksi yang adil 3. Adanya pengantin lelaki 4. Adanya pengantin wanita 5. Adanya Ijab dan Kabul.

Wali, Dalam hal ini adalah ayah kandung sang wanita. Jika ayah kandung sudah mati, maka kakek sang wanita itu ( Bapak dari Bapaknya) adalah walinya. Jika sang kakek sudah mati juga, maka saudara kandung yang laki-laki dapat menjadi walinya. Seterusnya dapat menjadi wali adalah paman kandung sang wanita dari pihak ayah kandungnya, kemudian keponakan, yaitu anak kandung dari saudara kandung si wanita itu. Kemudian dapat juga  menjadi wali adalah anak laki-laki paman, yang mana paman itu adalah saudara kandung dari ayah sang wanita itu.
Inilah wali-wali yang disebut wali nasab (seketurunan) dari seorang wanita. Jika seluruh wali tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah Wali Hakim, dalam hal ini di Indonesia yang diangkat Negara bertugas sebagai Wali Hakim adalah:  Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ( Ka KUA Kecamatan), atau Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten/Kota (Ka Kandepag), atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama (Kakanwil Depag), atau Menteri Agama atau Presiden.

Hadis Nabi: "Tidak Sah menikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Adapun nikah mana saja yang dilakukan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil, maka nikahnya itu batil" (HR. Ibnu Hiban, Shohih).

Dalam hadis lain Nabi bersabda: "Sultan (pemerintah) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali" (HR. Ibnu Majah)

Jika sebuah pernikahan mencukupi syarat dan rukun, maka pernikahan itu telah sah menurut Agama Islam. Hanya saja jika pernikahan yang anda tanyakan di atas mereka lakukan tanpa adanya wali dari sang wanita jelas pernikahan itu tidak sah. Tidak boleh sembarang Kiyai menjadi wali bagi wanita itu. Keberadaan wanita yang tidak mempunyai wali, wajib melakukan pernikahan itu dengan wali hakim dalam hal ini, paling tidak wali hakimnya adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Andai saja perkawinan teman anda tersebut dilakukan di hadapan Kiyai tertentu, namun wali sang wanita, yaitu Ayah kandungnya, hadir dan menyerahkan kewaliannya kepada sang Kiayi tersebut, dan seluruh RUKUN NIKAH sudah terpenuhi, maka pernikahan itu sah menurut agama Islam. Tetapi pernikahan seperti ini tidak tercatat dalam lembaran negara. Oleh karena itu jika mereka mengulangi pernikahannya di depan Ka KUA Kecamatan, barulah pernikahan mereka sah menurut negara, dan tercatat dalam lembaran negara. Dengan demikian, demi kemashlahatan yang lebih baik, memang seyogianya pernikahan tersebut diulangi lagi di depan Ka KUA Kecamatan atau Penghulu yang ditunjuk oleh negara yaitu P3NTR. Sedangkan maharnya bisa saja mahar yang terdahulu pada nikah yang di depan Kiyai itu diberikan lagi. Ini memang aneh, tapi untuk melengkapi hukum negara, apa boleh buat. Soalnya biasanya Ka KUA tidak akan mau sekedar menerima laporan pernikahan warga negara yang dilakukan di luar pengetahuannya.Dan, tentu saja Surat Nikah tidak akan dia berikan pula.

Ada kerugian besar, terutama bagi pihak sang wanita jika pernikahannya tidak dicatatkan pada lembaran negara. Antara lain: sulitnya mengurus perceraian jika terpaksa dilakukan, sulitnya mengurus dokumen negara seperti Passport, kredit rumah, KTP, tidak akan mendapatkan Kartu Catatan Sipil bagi kelahiran anak-anak mereka kelak, dan lain-lain.

Pernikahan yang tidak dilakukan dan tidak dicatat di KUA disebut nikah sirri. Pernikahan ini sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut negara Indonesia.

Imam Nawawi Al Bantani mengatakan jika satu hukum yang mubah telah diwajibkan oleh negara, maka menjadi hukum itu menjadi wajib, dan menjadi wajiblah bagi kaum muslimin di negeri itu mentaatinya. Jika suatu hukum yang bersifat sunnat, tetapi diwajibkan oleh negara, maka hukum itu berubah menjadi wajib. Seterusnya jika suatu hukum bersifat wajib, kemudian diwajibkan oleh negara maka menjadi semakin kuatlah kewajibannya.Nah, mengikuti Fatwa Imam Nawawi ini, berarti hukumnya mentaati hukum negara menjadi wajib juga bagi kaum muslimin di Indonesia ini.

Sebagai tambahan keterangan saya masukkan juga perkataan Yunus bi Abdul A'la yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata :Jika dalam satu rombongan ada wanita muslimah yang tidak memiliki wali sama sekali, lalu sang wanita itu menguasakan urusan nikahnya kepada seorang laki-laki muslim agar menguruskan pernikahannya, maka nikah itu menjadi sah. Sebab laki-laki itu termasuk golongan muhakkam ( orang yang diberi kuasa hukum) dan laki-laki itu menempati kedudukan wali. (Lihat Kifayatul Akhyar, Kitabunnikah).
Wallahu a'lam bishowab

Hadist Dho'if ......KH.Tengku Zulkarnain

Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho'if seperti halnya hadist maudhu' atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho'if itu?
Jawab:
Hadits dho'if tidaklah sama dengan hadits maudhu'. Hadits dho'if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur'an! Tuliskanlah al Qur'an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka  ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid'ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh  Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta'biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat  bahwa ada bid'ah yang hasanah alias bid'ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang  melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid'ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah  Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu', yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma'nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu' dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu'. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari'ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi'i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a'mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi  yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang  hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam

Ternyata, Bumi itu Bulat! ...... KH. Tengku Zulkarnain

Banyak orang bertanya, apakah bumi itu bulat? Tapi ada pula yang bertanya apakah bumi itu datar? Dua pertanyaan ini sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, bahkan mungkin ribuan tahun lamanya. Ada orang yang percaya bumi ini bulat, namun ada pula yang percaya bahwa bumi ini datar, tidak bulat. Selama kepercayaan itu tidak dikait-kaitkan dengan agama, maka tidaklah akan menjadi masalah besar. Tapi manakala sudah dibawa ke ranah agama, maka persoalan ini menjadi masalah yang sangat serius, karena menyangkut masalah keimanan!
Mengapa demikian…? Tidak lain karena ada beberapa ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah ini. Sementara itu, beriman kepada Al-Qur’an adalah salah satu rukun iman yang ada. Dengan demikian, meragukan kebenaran satu ayat Al-Qur’an saja dapat menyebabkan seseorang menjadi murtad, yakni terkeluar dari Islam. Alangkah berbahayanya keadaan itu…..!
Akhir-akhir ini ada segelintir umat Islam yang berpegang kepada teks Al-Qur’an yang tertulis secara zahirnya saja (tekstual), dan mengklaim bahwa bumi ini datar. Lebih dari itu, tidak tanggung-tanggung, mereka malah berani mengkafirkan orang-orang yang berkeyakinan bahwa bumi ini bulat adanya. Kata mereka orang yang tidak percaya bahwa bumi ini datar melawan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah menjelaskan dengan nyata bahwa bumi ini datar! Persoalan ini menjadi masalah yang sangat serius, karena menyebabkan terjadinya benturan antara percaya kepada science modern atau percaya kepada Al-Qur’an suci yang agung. Sebagian orang awam lalu mengambil jalan pintas dengan mengikuti segelintir umat yang berfaham bumi itu datar, karena takut terjatuh ke dalam kemurtadan, alias menjadi kafir. Mereka takut dengan ancaman kelompok ini. Apalagi selama ini, sudah terkenal bahwa kelompok ini sangat rajin dan lantang menyerang orang yang tidak sefaham dengan mereka dengan ancaman kafir, murtad, bid’ah dan lain sebagainya, seraya memakai ayat-ayat Al-Quran segala.
Timbul pertanyaan kemudian, benarkah Al-Qur’an bertentangan dengan ilmu science modern…? Jawabnya tegas, tidak mungkin ada pertentangan antara ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan ilmu science. Jika pun terjadi pertentangan maka itu terjadi karena dua hal saja. Pertama; ilmu sciencenya yang tidak atau belum mampu mendefinisikan secara tepat, atau kedua; ayat Al-Qur’annya yang difahamkan secara keliru, melenceng, alias tidak tepat!
Selama ini ada beberapa ayat yang oleh para penganut faham bumi datar pakai untuk mendukung argumentasi atas faham mereka, antara lain;
Dalil Pertama, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr: 19, “Dan Kami (Allah) telah menghamparkan bumi….”. Nah lihatlah, kata mereka, bukankah ayat ini dengan gamblang telah menjelaskan bahwa bumi itu terhampar, dan tidak dikatakan bulat…! Kemudian mereka pun dengan enteng mengkafirkan semua orang yang berseberangan faham dengan mereka.
Dalil kedua, adalah firman Allah pada surat Al-Baqarah: 22, “Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (firasy) bagimu.”
Memang secara tekstual, bunyi ayat-ayat di atas mengatakan bahwa bumi ini terhampar, seumpama firasy, karpet, atau tempat tidur. Namun, apakah sesederhana itu sajakah memahamkan ayat Al-Qur’an….? Apakah memahamkan al-Qur’an yang agung cukup secara tekstual saja, kemudian mengabaikan arti kontekstualnya…? Kalau demikian, yakni Al-Qur’an hanya difahamkan secara tekstual saja, maka pasti akan hilanglah kehebatan dan keagungan Al-Qur’an itu. Padahal ada banyak ayat suci Al-Qur’an dan hadis yang mendudukkan derajat orang-orang berpengetahuan berada beberapa tingkat di atas orang awam. Dalam hal ini, pemahaman kontekstual jelas memerlukan daya nalar yang lebih tinggi dibandingkan sekedar pemahaman tekstual saja. Dengan demikian, pantaslah kiranya jika Allah dalam Al-Qur’an dan Nabi dalam banyak hadis beliau, memuji dan menyatakan bahwa orang yang berilmu pengetahuan, yang memakai akal dan nalar, memiliki derajat yang tinggi jauh berbeda dengan orang awam.
Pembahasan Masalah
Pada surat Al-Hijr ayat 19 dikatakan bahwa Allah telah menghamparkan bumi. Disitu tidak ada dikatakan bagian yang dihamparkan adalah bagian bumi tertentu, tetapi yang terhampar adalah bumi secara mutlak. Sehingga dengan demikian, jika kita berada di suatu tempat di bagian manapun dari pada bumi itu (selatan, barat, utara, dan timur), maka kita akan melihat bahwa bumi itu datar saja, seolah-olah terhampar di hadapan kita. Kemudian jika kita berjalan dan terus berjalan dengan mengikuti satu arah yang tetap, maka bumi itu akan terus menerus kita dapati terhampar di hadapan kita sampai suatu saat kita kembali ke tempat semula saat awal berjalan. Hal ini telah jelas membuktikan bahwa justru bumi itu bulat adanya. Sebaliknya, jika saja bumi itu berbentuk kubus, misalnya, maka pasti hamparan itu suatu saat akan terpotong, dan kita akan menuruni suatu bagian yang menjurang, menurun, tidak lagi terhampar…..!
Selanjutnya, jika bumi itu adalah sebuah hamparan seperti karpet atau tikar, maka jika ada orang yang melakukan perjalanan lurus satu arah secara terus menerus, maka orang itu pada akhir perjalanannya akan sampai pada ujung bumi yang terpotong, dan tidak akan pernah kembali ke tempatnya semula, di mana dia memulai perjalanannya yang pertama dulu. Penelitian dan pengalaman manusia telah membuktikan bahwa perjalanan yang dilakukan secara terus menerus ke satu arah tertentu tidak pernah menemukan ujung dunia yang terpotong, melainkan terus menerus yang  ditemukan hanyalah hamparan demi hamparan di tanah yang dilalui, untuk kemudian  perjalanan itu berakhir pada tempat semula saat perjalanan pertama dimulai. Hal ini tidak mungkin dapat terjadi jika saja bumi itu tidak bulat keberadaannya.
Penjelasan yang lebih gamblang adalah pada surat Al-Baqarah ayat 22: “ Dia (Allah) yang telah menjadikan bumi itu firasy (hamparan, kapet) bagimu ……” Perhatikan kata-kata “bagimu”. Al-Qur’an dalam hal ini, tidak sekedar mengatakan bahwa bumi itu hamparan umpama karpet saja, kemudian berhenti pada kalimat itu, tapi ada kata tambahan lain yaitu “bagimu”. Artinya, bagi kita manusia yang tinggal di atas permukaan bumi ini, bumi terasa datar. Walaupun, bumi itu pada kenyataannya adalah tidak datar. Hanya terasa datar bagi kita manusia. Terasa datar bukan berarti benar-benar datar, bukan….?
Penjelasan kata “karpet (firasy)” bagimu bukankah bisa diartikan sebagai sesuatu yang berfungsi  untuk diduduki atau dipakai tidur, dengan aman dan nyaman…?. Kata firasy dalam bahasa Indonesia dapat diartikan karpet, atau ranjang adalah sesuatu yang nyaman dan aman dan dipakai untuk tidur. Nampaknya arti seperti ini dapat dipakai, sebab keberadaan struktur bumi ini memang berlapis-lapis. Bagian intinya sangat panas dengan suhu ribuan derajat celcius yang mematikan. Namun demikian, pada bagian lapisan yang paling atas, ada sebuah lapisan keras setebal 70 kilometer, disebut lapisan kerak bumi yang paling aman dan nyaman, dengan suhu yang aman pula bagi kehidupan. Seolah-olah lapisan bumi bagian atas itu adalah ‘karpet’ atau ‘ranjang’ yang terbentang luas dan melindungi manusia serta seluruh makhluk Allah yang berada di atasnya, aman dari bahaya lapisan bumi bagian dalam yang cair, yang sangat panas lagi mematikan itu. Subhanallah, Maha Suci Allah dengan firman-Nya…..!
Ada satu ayat Al-Qur’an lagi yang patut kita perhatikan sebagai tambahan penjelasan masalah ini, yakni surat Az-Zumar ayat 5: “Dia (Allah) yang telah menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia juga memasukkan malam kepada siang (dengan cara menggulungnya-penulis), dan memasukkan siang atas malam, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kata “at-takwir” artinya adalah menggulung. Pada ayat di atas dengan jelas Allah berfirman bahwa malam menggulung siang dan siang menggulung malam. Kalau malam dan siang dapat saling menggulung, pastilah karena keduanya berada pada satu tempat yang bulat secara bersama-sama. Bagaimana keduanya dapat saling menggulung jika berada pada tempat yang datar….? Kalau saja kejadian itu pada tempat yang datar, mestinya akan lebih tepat jika dipakai kata menimpa atau  menindih.
Dari keterangan ayat di atas juga dapat diperoleh gambaran bahwa pada permukaan bumi ini setiap saat, separuh permukaannya senantiasa malam, dan separuh lagi permukaannya adalah  siang hari. Hal ini dapat digambarkan dari keterangan ayat, dimana seolah-olah bagian kepala dari sang malam itu menggulung bagian ekor dari sang siang, namun pada saat yang sama bagian kepala dari sang siang sedang menggulung pula bagian ekor dari sang malam. Sebanyak bagian siang yang digulung malam, maka pada saat yang bersamaan, sebanyak itu pula bagian malam yang sedang digulung oleh sang siang. Sekali lagi, keterangan ini menggambarkan bahwa terjadinya hal menakjubkan tersebut di atas bumi, hanya jika permukaan bumi itu bulat adanya…!
Lebih jauh lagi, andaikan saja bumi ini datar seumpama sebuah karpet, pastilah jika matahari terbit dan menyinari bumi, maka keseluruhan bagian bumi seketika akan berada dalam keadaan siang. Kemudian saat matahari berlalu meninggalkan bumi, datang pula kegelapan, maka seluruh permukaan bumi akan serentak menjadi malam pula semuanya. Namun, kenyataannya tidak demikian..!
Di zaman modern ini, sudah terbukti disaat Indonesia sedang siang hari, lalu kita menelepon atau chatt dengan teman kita di Amerika, mereka akan mengatakan: “Disini, saat ini, adalah malam hari, teman...!”, seraya dia akan menyapa kita dengan salamnya: “Good evening, my friend…!” Tidak percaya….? Silakan mencoba….!
Ajaibnya, keterangan-keterangan ini ditulis dalam ayat-ayat Al-Qur’an pada 14 abad yang lalu, disaat orang-orang Eropa dan Amerika masih primitif, dan masih menganggap bumi ini datar serta menganggapnya sebagai pusat bagi jagad raya ini.
Maha suci Allah dengan Al-Qur’an-Nya yang Agung………!
Wallahu A’lam Bishshowab



Followers